Setiap manusia pasti memiliki hasrat dan keinginan untuk memiliki sebuah hubungan yang harmonis dan penuh dengan cinta. Saling menyayangi dan saling memberi topangan saat dibutuhkan. Saling mendengarkan saat ada sebuah rangkaian kata yang dilantunkan. Saling memijak saat kaki tak mampu lagi beranjak.
Tapi, kadang harapan dan angan tersebut sirna. Kebahagiaan yang didambakan berujung kesedihan dan penderitaan. Ditinggal oleh kekasih memang menyayat hati dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Luka tersebut tentunya sangat susah untuk ditambal. Jangankan untuk sembuh, menghilangkan nyeri karena kontraksinya saja terasa sangat sulit. Sehingga muncul pikiran-pikiran yang tidak rasional demi menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, saat mengalami putus cinta kebanyakan orang melakukan hal yang bisa mengobati luka namun sifatnya hanya sementara. Mencari kebahagiaan yang semu dan tidak ada kejelasan apakah kebahagiaan tersebut dapat membalut luka tersebut.
Sebab, luka di dalam hati adalah luka yang serius dan tidak bisa disepelekan. Ingat, tidak bisa disepelekan. Jadi, jangan melakukan hal yang tidak masuk akal hanya untuk melupakan rasa sakit pada luka itu sedangkan luka dalam itu belumlah sembuh total.
Menulislah. Ya, menulis. Mungkin kisah dan keluh kesah yang dirasakan mampu tertuang dalam rajutan kata. Melampiaskan ke goresan yang tak menambah luka. Ungkapkan segala isi hati kepada buku yang siap menjaga rahasia tentang cerita dan kronologi terjadinya luka tersebut. Setelah semua kegundahan dalam hati mampu tertuang kepada penjaga amanat terbaik yaitu buku, maka rasa nyeri pada luka itu akan sedikit menghilang.
Saat rasa nyeri tersebut mulai menghilang, langkah terakhir adalah dengan menambal luka itu dan menunggu seseorang yang siap memberi perban sebagai pelindung agar luka tersebut tidak semakin parah karena gangguan-gangguan luar. Menunggu? Tidak! Seseorang pembawa perban tidak akan datang jika tidak dicari. Semakin lama menunggu, luka itu akan semakin membusuk sehingga bisa mati rasa. Pilihannya, membiarkan luka itu tetap ada atau membusukkan luka itu sehingga mati rasa? Tentu tidak keduanya.
Pilihan yang tepat adalah mencoba memperbaiki diri dengan membuang segala keburukan ke dalam buku dengan tulisan. Saat semua keburukan sudah dituangkan ke dalam buku, tutup buku itu rapat-rapat agar aromanya tidak terendus selagi luka belum terobati. Lantas, carilah orang yang siap memberi perban untuk mengobati luka tersebut. Jangan biarkan luka itu terus berkembang sehingga membuat mati rasa.
Penulis : Maulana Affandi
Menulislah. Ya, menulis. Mungkin kisah dan keluh kesah yang dirasakan mampu tertuang dalam rajutan kata. Melampiaskan ke goresan yang tak menambah luka. Ungkapkan segala isi hati kepada buku yang siap menjaga rahasia tentang cerita dan kronologi terjadinya luka tersebut. Setelah semua kegundahan dalam hati mampu tertuang kepada penjaga amanat terbaik yaitu buku, maka rasa nyeri pada luka itu akan sedikit menghilang.
Saat rasa nyeri tersebut mulai menghilang, langkah terakhir adalah dengan menambal luka itu dan menunggu seseorang yang siap memberi perban sebagai pelindung agar luka tersebut tidak semakin parah karena gangguan-gangguan luar. Menunggu? Tidak! Seseorang pembawa perban tidak akan datang jika tidak dicari. Semakin lama menunggu, luka itu akan semakin membusuk sehingga bisa mati rasa. Pilihannya, membiarkan luka itu tetap ada atau membusukkan luka itu sehingga mati rasa? Tentu tidak keduanya.
Pilihan yang tepat adalah mencoba memperbaiki diri dengan membuang segala keburukan ke dalam buku dengan tulisan. Saat semua keburukan sudah dituangkan ke dalam buku, tutup buku itu rapat-rapat agar aromanya tidak terendus selagi luka belum terobati. Lantas, carilah orang yang siap memberi perban untuk mengobati luka tersebut. Jangan biarkan luka itu terus berkembang sehingga membuat mati rasa.
Penulis : Maulana Affandi