Judul Asli : Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams
Alih Bahasa : Syamsu Hadi
Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2007
Penerbit : Yayasan Bung Karno
Distributor : PT. Buku Seru
Banyak Halaman : 415
Kata Sukarno pada Bab pertama buku ini : “Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta.”
Buku yang berjudul “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” adalah otobiografi dari presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, yang terbit pertama kali pada tahun 1966. Buku ini adalah terjemahan dari buku yang berjudul “Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams”. Pertama kali diterbtikan oleh The Bobbs-Merrill Company, Inc, New York, pada tahun 1965. Dan telah dicetak berulang kali.
Penulis buku ini adalah Cindy Adams, seorang wartawan perempuan yang berasal dari Amerika. Ia kebetulan berada di Jakarta bersama suaminya, pelawak Joey Adams, yang memimpin Misi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara tahun 1961. Sukarno memiliki kesan tersendiri pada Cindy Adams, “dia adalah penulis tercantik yang pernah kutemui!” Karena Cindy Adams pula, Sukarno berkenan menuliskan riwayat hidupnya – setelah sekian lama sulit sekali untuk dibujuk.
Ya, sulit membujuk Sukarno untuk mau menulis buku biografinya. Inilah yang dirasakan oleh Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones. Pada suatu hari, saat Howard dan istrinya sedang makan bersama Sukarno dan Hartini (Istri Sukarno) di bungalow Istana Bogor, Howard mengatakan, “Tuan Presiden, aku kira sudah waktunya Anda melihat kembali perjalanan sejarah. Menurutku sudah waktunya Anda menuliskan sejarah kehidupan Anda.” Dan seperti biasa, pertanyan serupa itu sering ditanyakan kepada Sukarno, ia menjawab, “Tidak. Insya Allah, aku masih hidup 10 atau 20 tahun lagi.”
Petugas pers Istana Presiden, Nyonya Siel Rohmulyati juga merasakan betapa sulitnya membujuk Sukarno untuk menulis memoar dirinya. Pada tahun 1960, ketika Pemimpin Uni Soviet Nikita Sergeyevich Kruschchev sedang berkunjung ke Indonesia, ada seratus orang wartawan yang datang. Roh berkata pada Sukarno, “Maaf, Bapak jangan marah, karena kami sendiripun tidak tahu sejarah hidup Bapak, dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara. Karena itu dapatkah Bapak menentramkan hati saya dan ingin menulis riwayat hidup Bapak?” Lalu Sukarno berteriak padanya, “Berapa kali aku harus mengatakan padamu, T-I-D-A-K!” Namun pada akhirnya Sukarno menyesal telah membentak Roh, ia meminta Ajudannya untuk menelpon Roh dan mengatakan bahwa ia ingin bertemu untuk meminta maaf.
Perlu diingat, tulisan ini merupakan resensi dari “EDISI REVISI”. Karena ternyata, pada buku yang diterbitkan sebelum edisi revisi terdapat beberapa paragraf “ajaib”. Dikatakan demikian karena paragraf tersebut ternyata tidak terdapat pada buku aslinya. Atau, ada juga kalimat yang entah sengaja atau tidak, telah dihilangkan. Selain itu, terdapat pula beberapa kata yang kehilangan makna aslinya ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Masih belum terdapat jawaban mengenai penyimpangan penerjemahan buku ini saat sebelum direvisi. Bisa saja itu sebuah kesalahan yang tidak disengaja, namun bisa juga hal tersebut dilakukan oleh pihak tertentu dengan kesadaran penuh. Mengingat situasi di Indonesia yang tidak begitu kondusif ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Tentu saja hal ini bisa ditanyakan kepada penerjemah pertama buku ini, (Mayor) Abdul Bar Salim, andaikan ia masih hidup.
Tapi pembaca bisa merasa lebih lega, karena kesalahan tersebut telah diperbaiki pada edisi revisi. Seperti penghapusan satu paragraf yang tidak terdapat pada buku asli berbahasa Inggris yang isinya :
Tidak ada yang berteriak, “Kami menghendaki Bung Hatta.” Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Salah satu cerita menarik dari buku ini adalah penggambaran kesederhanaan dalam gelegar semangat Revolusi Indonesia. Kisah itu bermula ketika Sukarno hendak mengangkat ajudan pertamanya :
Pada saat itu, Romulo adalah tamu kenegaraan pertama yang datang ke Indonesia. Ia berasal dari Filipina. Sukarno belum memiliki ajudan, lalu ia menunjuk seorang pemuda untuk menjadi ajudannya. “Dengan ini,” kata Sukarno, “aku mengangkatmu jadi Letnan”. Lalu penasehat presiden mengatakan bahwa Ratu Juliana memiliki ajudan berpangkat kolonel. Sukarno kemudian memanggil lagi ajudannya. “Sudah berapa lama engkau jadi letnan?” tanya Presiden Sukarno. “Satu setangah jam, Pak,” jawabnya dengan hormat. “Negara kita baru lahir tetapi tumbuh cepat, mulai sekarang engkau jadi mayor.”
Buku ini menceritakan secara lengkap perjalanan hidup Sukarno. Mulai dari ia dilahirkan sampai pasca-Revolusi Indonesia. Kisah dan perasaan Sukarno saat dipenjara pada sel yang sempit dan gelap diceritakan dengan begitu menjiwai. Bagaiamana ia dengan tidak malu-malu mengungkapkan dengan jujur, bahwa pledoi yang terkenal “Indonesia Menggugat” ia tulis dalam penjara di atas sebuah kaleng tempat buang air.
Masih begitu banyak cerita menarik yang terdapat pada buku ini. Tentu saja semua tidak akan mungkin bisa tertulis pada resensi ini. Seperti kisah pembuangannya yang berkali kali itu. Keberaniannya mendatangi markas tentara Jepang – yang kapan saja dapat menembaknya – seorang diri. Serta jawabannya terhadap berita miring yang sering ditulis oleh wartawan Amerika.