Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November mengajak kita untuk mengenang dan menghargai jasa pahlawan tanpa tanda jasa.
Pengorbanan dan pengabdian guru tidak pernah ternilai harganya bagi perjalanan hidup setiap orang.
Di samping itu, Hari Guru Nasional juga mengajak kita kembali memikirkan persoalan pendidikan secara lebih luas.
Buku berjudul Belajar Mendidik ini mengajak kita melihat kembali makna dan hakikat pendidikan, makna belajar, dan mendidik, untuk memandang pelbagai problem pendidikan secara lebih komprehensif dan berimbang.
Pengarang melihat ada sebuah makna yang perlu kembali diluruskan terkait dengan “pendidikan”. Banyak yang menganggap “pendidikan” adalah sebuah hal yang serba formal, yang mana terjadi kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Sehingga imajinasi masyarakat tentang pendidikan hanya seputar sekolah, guru, dan ruang kelas. Pengarang merasa pendidikan mengalami penyempitan makna.
Padahal, pada dasarnya pendidikan adalah sebuah proses perjalanan yang bisa berlangsung di mana saja. Bahkan, keluarga yang menjadi pendidik pertama dan yang paling utama bagi setiap orang.Dalam hal ini pengarang merancang pembahasan sistematis untuk mengingatkan kita pada hal-hal mendasar tentang pendidikan dan “proses mendidik”.
Pengarang ingin mengembalikan pemahaman masyarakat tentang hakikat belajar yang selama ini hanya dinilai dengan murid, guru, dan ruang kelas.
Lebih mendalam, pengarang sepertinya ingin menyadarkan kita bahwa setiap orang ternyata bisa berperan sebagai guru.
Bahwa proses belajar seorang anak selama hidupnya dipengaruhi oleh banyak faktor, tak hanya guru di sekolah.
PendidikanSelain hal mendasar tersebut, bahasan menarik adalah tentang bagaimana pendidikan mampu merespon berbagai problem yang terjadi di masyarakat, terutama problem-probrem kebangsaan terkini.
Kita melihat belakangan bagaimana nilai-nilai persaudaran sebangsa mulai terkikis lewat pelbagai pertikaian dan ujaran kebencian (hate speech) yang menjurus SARA.
Dinamika politik dan sosial kerap memancing perdebatan dan pertikaian di kalangan masyarakat, didorong merebaknya kabar-kabar provokatif, bahkan kabar palsu (hoax) yang seakan terus memancing kita untuk mempermasalahkan perbedaan dan keragaman di masyarakat.
Pendidikan harus bisa menjawab problem tersebut. Pendidikan dalam hal ini bertugas kembali menguatkan nilai-nilai persaudaraan kebangsaan di tengah masyarakat kita.
Penulis menganggap pentingnya “pendidikan damai” yang menekankan pada bagaimana membangun kehidupan yang saling menghormati, rukun, dalam masyarakat yang majemuk menjadi penting ditekankan.
Nilai-nilai yang kita butuhkan sebagai bangsa yang majemuk dan beragam tersebut harus kembali ditanamkan dan dirawat, demi terciptanya kehidupan yang damai di masyarakat.