Baru-baru ini, musibah sedang santer menimpa ibu pertiwi, mulai dari banjir, longsor, gunung meletus, sampai dengan gempa bumi yang telah memakan ratusan korban nyawa.
Sebut saja di Lombok, belakangan ini beberapa kali terjadi gempa dengan kekuatan yang cukup dahsyat sehingga guncangannya dirasakan oleh wilayah di sekitarnya, seperti Bali dan sebagian Jawa Timur.
Namun, guncangan itu bukanlah gempa, melainkan lindu. Ya, dalam istilah Jawa, gempa dengan skala kecil sering disebut dengan lindu.
Mereka menyebutkan jika lindu adalah sebuah goncangan bumi yang kekuatannya kecil, hanya memberi efek ketakutan tanpa ada bahaya serius mengancam.
Walau begitu, lindu juga sering menyebabkan terjadinya kerusakan pada bangunan akibat guncangan yang tiba-tiba. Tentu saja, kita harus berbela sungkawa atas bencana yang dialami oleh saudara-saudari kita.
Selagi mampu dan bisa, alangkah baiknya kita menolong, memberi bantuan, baik berupa materi ataupun moral kepada mereka yang sedang diuji oleh Sang Maha Pencipta. Namun, di balik itu semua, ada yang menarik dari kata lindu.
Belakangan ini tengah ramai adanya sebuah anggapan yang mengatakan bahwa istilah lindu merupakan akronim dari Bahasa Inggris. Anggapan itu tidak tahu siapa pencetusnya.
Yang jelas, LINDU disebut-sebut sebagai akronim dari Large Intensity of Natural Disasters for Underground.
Memang terkesan meyakinkan, tapi masih belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya sebab belum ada kajian ilmiah yang membedah istilah itu sendiri.
Banyak juga netizen yang menganggap bahwa itu adalah sebuah cocoklogi, alias menerka-nerka dengan unsur perkiraan serta prediksi. Sebab, ejaan Jawa yang benar adalah lindhu, bukan lindu.
Namun, terlepas dari itu semua, tentu saja ini adalah sebuah ragam bahasa yang membuktikan bahwa bahasa itu sifatnya selalu mengikuti pendahulunya.
Seperti yang kita ketahui, bahasa kita sendiri sering menyerap dari bahasa asing, terutama Arab. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan jika istilah lindu itu benar-benar akronim dari Bahasa Inggris seperti yang baru saja ramai di media sosial. Lebih dari itu, kembali lagi ke sudut pandang masing-masing.
Jika menilik teori yang menyebutkan bahwa bahasa itu arbriter, secara tidak langsung ini adalah kekayaan bahasa yang sifatnya suka-suka, tidak bisa disalahkan ataupun dibenarkan sebelum benar-benar dikaji lebih dalam.