Mungkin kita kerap membaca serta mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa “Bahagia itu Sederhana” dari berbagai media informasi.
Hebatnya lagi, banyak orang yang setuju dengan ungkapan tersebut tanpa mencari tahu terlebih dahulu di mana letak kesederhanaannya.
Tapi itulah yang terjadi saat ini, bahagianya manusia milenial memang sangat sederhana, terlebih kesederhanaan itu selalu terbungkus rapi pada rak jejaring sosial.
Perlu diketahui, kebahagiaan dan kesenangan itu berbeda. Jadi, jangan samakan arti dari kedua kata tersebut.
Jika kita lebih jeli, saat ini merupakan era di mana anak muda sudah mulai ke luar dari koridor privasinya sendiri.
Hampir segala sesuatu yang dialami selalu dipamerkan pada jagat maya, baik itu kegiatan positif maupun kegiatan negatif.
Tapi itu adalah hak yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sekalipun atas dasar peduli.
Menurut teori psikologi, manusia yang sering mengumbar kebahagiaannya kepada publik menandakan manusia tersebut tidak seutuhnya bahagia.
Benarkah begitu? Mungkin benar, mungkin juga tidak salah.
Sebab, banyak faktor yang memengaruhi manusia untuk mengumbar kebahagiaannya kepada publik, salah satunya adalah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang bahagia.
Hal tersebut patut diakui, dia ingin menunjukkan bahwasanya saat ini dia telah bahagia bila dibandingkan dengan dulu.
Contoh lain, ada yang mengumbar foto mesranya bersama pasangan baru dengan caption “Bahagia itu sederhana, melupakan masa lalu dan menggapai masa depan dengan kamu”. Jika ditelisik lebih dalam, ada makna semiotika pada caption yang “aneh” tersebut.
Jikalau memang sudah bahagia, buat apa menunjukkannya kepada orang lain?
Lantas buat apa masih membahas masa lalu? Atau hanya ingin bersembunyi dari rasa rindu? Entahlah, itu hanya opini ambigu, namun mendekati fakta.
Hebatnya lagi, banyak orang yang setuju dengan ungkapan tersebut tanpa mencari tahu terlebih dahulu di mana letak kesederhanaannya.
Tapi itulah yang terjadi saat ini, bahagianya manusia milenial memang sangat sederhana, terlebih kesederhanaan itu selalu terbungkus rapi pada rak jejaring sosial.
Perlu diketahui, kebahagiaan dan kesenangan itu berbeda. Jadi, jangan samakan arti dari kedua kata tersebut.
Jika kita lebih jeli, saat ini merupakan era di mana anak muda sudah mulai ke luar dari koridor privasinya sendiri.
Hampir segala sesuatu yang dialami selalu dipamerkan pada jagat maya, baik itu kegiatan positif maupun kegiatan negatif.
Tapi itu adalah hak yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sekalipun atas dasar peduli.
Menurut teori psikologi, manusia yang sering mengumbar kebahagiaannya kepada publik menandakan manusia tersebut tidak seutuhnya bahagia.
Benarkah begitu? Mungkin benar, mungkin juga tidak salah.
Sebab, banyak faktor yang memengaruhi manusia untuk mengumbar kebahagiaannya kepada publik, salah satunya adalah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang bahagia.
Hal tersebut patut diakui, dia ingin menunjukkan bahwasanya saat ini dia telah bahagia bila dibandingkan dengan dulu.
Contoh lain, ada yang mengumbar foto mesranya bersama pasangan baru dengan caption “Bahagia itu sederhana, melupakan masa lalu dan menggapai masa depan dengan kamu”. Jika ditelisik lebih dalam, ada makna semiotika pada caption yang “aneh” tersebut.
Jikalau memang sudah bahagia, buat apa menunjukkannya kepada orang lain?
Lantas buat apa masih membahas masa lalu? Atau hanya ingin bersembunyi dari rasa rindu? Entahlah, itu hanya opini ambigu, namun mendekati fakta.