Biografi Raden Saleh, Perintis Seni Lukis Modern Indonesia


Siapa Raden Saleh?

Raden Saleh adalah pelukis pertama Indonesia yang memperkenalkan teknik seni lukis modern di nusantara.

Raden Saleh juga merupakan Perintis Seni Lukis Modern Indonesia yang karya lukisannya banyak dipajang museum di Eropa.

Harga lukisan Raden Saleh juga sangat fantastis, salah satu karyanya yang berjudul "Berburu Banteng" laku seharga Rp 120 miliar pada 2018 lalu.

Biografi Raden Saleh

Raden Saleh Syarif Bustaman lahir di Semarang pada tahun 1811 yang merupakan keturunan Arab dan Jawa.

Ayahnya bernama Said Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama Raden Ayu Syarif Husein.

Sejak kecil Raden Saleh tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Adipati Surohadimenggolo, Bupati Semarang yang terkenal terpelajar.

Sang paman pernah membantu Thomas Stamford Raffles yang dikenal sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pamannya membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam menerjemahkan sejumlah teks dari kanon sastra klasik Jawa.

Yang kemudian digunakan Thomas Stamford Raffles sebagai bahan menulis buku terkenalnya yakni the History Of Java.

Pada 1822, Raden Saleh didaftarkan belajar di sebuah sekolah bangsawan Pribumi yang baru dibuka di Cianjur, Jawa Barat.

Berkat keluasan pergaulannya, Raden Saleh yang berbakat menggambar sudah terlihat sejak masih muda.

Ia bisa berkenalan dan belajar kepada AAJ Payen, pelukis keturunan Belgia yang didatangkan pemerintah Hindia-Belanda untuk melukis pemandangan Nusantara.

Raden Saleh Belajar Seni Lukis di Belanda

Pada tahun 1829, atas saran Payen pemerintah Hindia Belanda mengirim Raden Saleh ke negeri Belanda untuk belajar seni lukis.

Pengalaman belajar serta hidup di negeri Belanda dan sejumlah negara Eropa lain kelak sangat mempengaruhi gaya melukis dan pemikiran seorang Raden Saleh.

Petualangan hidup Raden Saleh di Eropa dimulai di negeri Belanda. Lima tahun pertamanya di Eropa digunakan Raden Saleh untuk belajar banyak hal.

Dari memperdalam bahasa Belanda hingga belajar teknik melukis potret pada pelukis istana kerajaan Belanda Cornelis Kruesemen.

Ia juga belajar melukis tema pemandangan pada Andris Bahan nama alat serta belajar melukis tema pemandangan pada Andries Schelfhout.

Perlahan nama Raden Saleh mulai dikenal masyarakat Belanda.

Selain berkesempatan menggelar pameran di Den Haag, Ia juga kerap diminta melukis potret sejumlah anggota kerajaan dan para pejabat Belanda.

Tak jarang karya karya lukis Raden Saleh membuat masyarakat Belanda terperangah.

Berpetualang di Jerman Hingga Perancis

Pada tahun 1839, pemerintah Belanda mengirim Raden Saleh untuk melakukan perjalanan artistik ke sejumlah negara Eropa.

Ia berkunjung dan menetap beberapa bulan di Dusseldorf Frankfurt dan Berlin, Jerman.

Ia kemudian mengunjungi kota Dresden dan jatuh cinta dengan kota itu.

Raden Saleh memutuskan tinggal di Dresden hingga sekitar lima tahun di kota itu. Di kota itu pula ia menjadi tamu kehormatan kerajaan Jerman.

Kehadirannya diterima baik kalangan bangsawan. Untuk pertama kali dalam hidupnya Raden Saleh merasa diperlakukan sederajat sebagai manusia.

Situasi ini membuatnya leluasa menemukan ekspresi artistik dan rasa percaya dirinya sebagai seniman.

Raden Saleh juga tak ragu menunjukkan identitasnya sebagai orang Asia, orang Jawa serta sebagai seorang muslim.

Selama di Dresden, Raden Saleh menjalin persahabatan erat dengan seorang bangsawan terpandang bernama Mayor Friedrich Anton Serres dan istrinya bernama Friederikadi Maxen.

Salah satu jejak persahabatan Raden Saleh dengan keluarga Serres bisa dilihat pada bangunan Mushola yang dibangun keluarga Serres di kawasan bukit Mühlbach.

Mushola yang bernama Blaue Häusel itu memang dibuat untuk menghormati Raden Saleh.

Di mushola itu terdapat tulisan Raden Saleh dalam bahasa Jawa dan Jerman berbunyi : “..Hormati Tuhan, Cintai Manusia.”

Terdorong oleh jiwa artistiknya, pada tahun 1845 Raden Saleh pergi ke Prancis dan menetap selama 5 tahun di kota pusat kesenian Eropa itu.

Wawasan seni dan pengetahuan Raden Saleh kian bertambah.

Ia banyak menyerap pengaruh gaya romantic pelukis legendaris Prancis, Eugene Delacroix yang kerap menonjolkan unsur drama dalam lukisan-lukisannya.

Pada 1846 bersama pelukis terkenal Perancis yang bernama Horace Vernet, Raden Saleh tinggal beberapa bulan di Aljazair.

Di daerah koloni Perancis ini, Raden Saleh mendapat ilham untuk melukis adegan perkelahian hewan-hewan buas yang menjadi salah satu tema favorit lukisan-lukisannya.

Selama di Perancis, Raden Saleh juga menjadi saksi revolusi Prancis yang terjadi pada bulan februari 1848 di Paris.

Peristiwa inilah yang ikut mempengaruhi wawasan kehidupannya. Raden Saleh diketahui tiga kali menggelar pameran lukisannya.

Karya-karyanya diterima baik oleh penikmat seni dan kritikus di negara itu.

Saat akhirnya pulang ke Hindia Belanda pada tahun 1851, Raden Saleh yang sudah menjadi pribadi baru.

Raden Saleh menjelma sebagai manusia dengan pikiran dan perilaku modern.

Raden Saleh Kembali ke Indonesia

Pulang dari Eropa dan tinggal di Batavia, Raden Saleh yang bekerja sebagai pelukis dan konservator lukisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Ia merasa terasing dengan lingkungannya.

Sebagai seorang yang menyerap budaya dan pendidikan Eropa, Oleh orang-orang Belanda di nusantara dia tetap dianggap sebagai seorang pribumi yang tidak sederajat dengan orang Eropa.

Sementara saat harus bergaul dengan warga pribumi baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat jelata, Raden Saleh juga kesulitan mendapatkan lawan bicara yang bisa mengimbangi tingkat pengetahuan dan pendidikannya.

Kondisi ini membuatnya sangat kesepian.

Pada tahun 1855 Raden Saleh menikah dengan Constancia von Mansfeldt. Ia merupakan seorang janda kaya asal Jerman.

Pasangan ini kemudian membangun rumah mewah di kawasan Cikini.

Rumah cantik yang diilhami gaya arsitektur istana Callenberg, di mana Raden Saleh pernah tinggal saat di Jerman.

Rumah tersebut kini masih berdiri dan menjadi bagian dari Kompleks Rumah Sakit PGI.

Sayangnya perilaku diskriminatif yang diterima Raden Saleh kemudian menyebabkan ia bercerai dengan Constancia.

Praktek diskriminasi yang dirasakan Raden Saleh mendorongnya menciptakan sejumlah karya lukis yang mengekspresikan kritik atas kolonialisme yang dilakukan Belanda di Bumi Jawa atau wilayah nusantara lainnya.

Nuansa kritik ini menurut sejumlah pihak misalnya terasa pada lukisan penangkapan Diponegoro, Lukisan sebuah banjir di Jawa, dan lukisan pertarungan antara banteng dan singa.

Karya terpenting Raden Saleh yakni lukisan bersejarah penangkapan Diponegoro sangat tersohor di Indonesia dan melahirkan banyak tafsir.

Dari tafsir yang mendukung Raden Saleh sebagai pendukung kolonialisme, hingga tafsir sebaliknya yang menyebut lukisan itu sebagai bentuk kritik Raden Saleh terhadap praktek kolonialisme Belanda terhadap tanah Jawa atau Nusantara.

Raden Saleh Menikah

Pada tahun 1867, Raden Saleh menikah dengan Raden Ayu Danudirja. Ia adalah gadis bangsawan dari Keraton Yogyakarta. Mereka berdua kemudian pindah ke Bogor.

Menjelang akhir hayatnya, Raden Saleh sempat ditahan oleh penguasa kolonial Belanda.

Hal ini karena tuduhan bahwa Raden Saleh terlibat pemberontakan Gerakan Ratu Adil di Karawang Dan Bekasi pada tahun 1867.

Meski perjalanan hidupnya diwarnai kekecewaan dan kesepian, hidup Raden Saleh yang dilandasi semangat romantis dan ide kemanusiaan. Ini tetap menjadikan dirinya sosok yang dicintai dan dikagumi.

Raden Saleh Wafat

Saat Raden Saleh meninggal pada 23 April 1880, lebih dari 2 ribu orang yang berasal dari berbagai etnis dan kebangsaan mengantarkannya ke pemakaman di kampung Empang, Bogor.
Previous Post Next Post