Biografi Muhammad Yamin, Sastrawan Nasional

muhammad yamin

Nama : Prof. Mohammad Yamin, S.H.
Lahir : Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903
Meninggal : Jakarta, 17 Oktober 1962 (umur 59)
Agama : Islam
Ayah : Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib
Ibu: Siti Saadah

Jabatan :

  • Menteri Kehakiman Indonesia ke-6 (27 April 1951 – 14 Juni 1951)
  • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-8 (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
  • Menteri Penerangan Indonesia ke-14 (6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962)

Biografi Muhammad Yamin

Prof. Mr. Muhammad Yamin, S.H dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903.

Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin.

Ketika kecil , Muhammad Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914.

Di zaman penjajahan, ia termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi.

Lewat pendidikan itulah, ia sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserapnya sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu.

Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.

Riwayat Pendidikan Muhammad Yamin

Pendidikan yang sempat diterima oleh Muhammad Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta.

Muhammad Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun.

Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapannya untuk mempelajari kesusastraan Timur di Universitas Leiden, Belanda.

Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala.

Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa.

Dalam mempelajari bahasa Yunani, ia banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.

Setamat AMS Yogya, Ia bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia.

Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun.

Ia akhirnya melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.

Riwayat Organisasi Muhammad Yamin

Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Muhammad Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan.

Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpinnya antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928).

Peran Muhammad Yamin bisa dilihat dalam Kongres Pemuda II.

Muhammad Yamin termasuk tokoh yang ikut merumuskan sumpah pemuda. Disana disepakati penggunaan bahasa Indonesia

Pada tahun 1938 hingga 1942, ia tercatat sebagai anggota Pertindo, yang merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’.

Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Muhammad Yamin dalam pemerintahan Indonesia antara lain sebagai Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).

Dari riwayat pendidikan Muhammad Yamin dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa ia termasuk seorang yang berwawasan luas.

Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan.

Ini merupakan salah satu sifat teladan Muhammad Yamin.

Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya.

Barangkali hal ini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibunya adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.

Dengan demikian, dapat dipahami apabila ia tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya.

Baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.

Karya Sastra Muhammad Yamin

Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah.

Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.

”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus.

Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru.

Akan tetapi, pada puisinya seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja.

Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber.

Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.

Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkunginya pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair.

Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuhnya pada segi isi dan semangatnya saja.

Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta.

Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair.

Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya.

Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.

Keith Robert Foulcher (1974) dalam disertasinyha mengemukakan bahwa konsepsi Yamin tentang soneta dipengaruhi sastra Belanda dan tradisi kesusastraan Melayu.

Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi bentuk eropa dalam keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih merupakan suatu pengungkapan yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja dari soneta Belanda, yang masih memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.

Muhammad Yamin Wafat

Muhammad Yamin wafat pada tanggal tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Atas peran dan jasa Muhammad Yamin maka pemerintah kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional.

Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia.

Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional.

Baginya sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950).

Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564–1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861–1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.

Karya Muhammad Yamin

Puisi : Indonesia, Tumpah Darahku
Drama : Ken Arok dan Ken Dedes, Kalau Dewa Tara Sudah Berkata.
Terjemahan : Julius Caesar karya Shakspeare, Menantikan Surat dari Raja, Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga, Tan Malaka.
Sejarah : Gadjah Mada, Sejarah Pangerah Dipenogoro.
Previous Post Next Post