Berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020. jumlah pernikahan dini selama pandemi covid-19 melonjak pesat. Wilayah yang paling banyak menyumbang angka perkawinan di bawah umur adalah Jawa Barat.
Menanggapi hal ini, dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan bahwa faktor meningkatkan angka pernikahan dini selama pandemi adalah karena masalah ekonomi.
Banyak tulang punggung keluarga yang kehilangan pekerjaan sehingga mengakibatkan guncangan pada kondisi ekonomi keluarga. Dampaknya banyak, salah satunya adalah menikahkan anak meski masih usia dini.
“Para pekerja yang juga orang tua tersebut sering kali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga,” ujar Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7/2020), seperti dilansir dari laman Unpad.
Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua saat pemerintah kebijakan social distancing juga memicu maraknya terjadi pernikahan usia di bawah umur. Dipaparkan jika belajar dari rumah sebenarnya mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Oleh karenanya, cukup berisiko jika orang tua lengah.
“Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini,” imbuhnya.
Dalam pandangan lain, dosen Fakultas Hukum Unpad Sonny Dewi Judiasih menjelaskan jika praktik perkawinan di bawah umum rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga kurang mampu serta tingkat pendidikan yang rendah.
Menurut Sonny, semestinya pengadilan tidak dengan mudah memberi izin dispensasi perkawinan. Pasalnya, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim. Harusnya pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.
“Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” pungkasnya.
Menanggapi hal ini, dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan bahwa faktor meningkatkan angka pernikahan dini selama pandemi adalah karena masalah ekonomi.
Banyak tulang punggung keluarga yang kehilangan pekerjaan sehingga mengakibatkan guncangan pada kondisi ekonomi keluarga. Dampaknya banyak, salah satunya adalah menikahkan anak meski masih usia dini.
“Para pekerja yang juga orang tua tersebut sering kali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga,” ujar Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7/2020), seperti dilansir dari laman Unpad.
Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua saat pemerintah kebijakan social distancing juga memicu maraknya terjadi pernikahan usia di bawah umur. Dipaparkan jika belajar dari rumah sebenarnya mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Oleh karenanya, cukup berisiko jika orang tua lengah.
“Tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini,” imbuhnya.
Dalam pandangan lain, dosen Fakultas Hukum Unpad Sonny Dewi Judiasih menjelaskan jika praktik perkawinan di bawah umum rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga kurang mampu serta tingkat pendidikan yang rendah.
Menurut Sonny, semestinya pengadilan tidak dengan mudah memberi izin dispensasi perkawinan. Pasalnya, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim. Harusnya pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.
“Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” pungkasnya.