Tokoh Sastrawan Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru adalah angkatan yang terbentuk pada tahun 1993 dengan tujuan untuk menggantikan angkatan Balai Pustaka.
Karya dari angkatan ini dipublikasikan melalui majalah Pujangga Baru. Adapun nama-nama tokoh sastrawan angkatan pujangga baru adalah sebagai berikut.
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan pejuang bersemangat gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana yang lahir pada tahun 1908.
Sejak tahun 1929, ia muncul dalam panggung sejarah Indonesia, yaitu ketika ia menerbitkan roman pertama yang berjudul "Tak Putus Dirundung Malang".
Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Kemudian, ia menulis roman kedua yang berjudul "Dian yang Tak Kunjung Padam (1932)" dan yang ketiga berjudul "Layar Terkembang (1936)".
Sedangkan roman yang berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu daripada Layar Terkembang dan dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka, namun diterbitkan sebagai buku.
Tiga puluh tahun kemudian Takdir menulis sebuah roman kembali berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru) yang diterbitkan tepat pada hari lahirnya yang ke-60.
Takdir terkenal sebagai penulis esai dan pembina bahasa Indonesia kala itu.
Bahkan, ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia” oleh Ir.S. Udin.
Berkat inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe, pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan gerakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama.
Ia juga pernah menjadi pimpinan majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952) yang memuat segala hal-ihwal perkembangan serta masalah perihal bahasa Indonesia.
Tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan bahasa Indonesia kemudian diterbitkan dengan judul "Dari Pejuang dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)".
Setelah kematian istrinya yang pertama, sajak-sajak yang ia tulis diterbitkan sebagai nomor khusus majalah Poedjangga Baroe berjudul "Tebaran Mega (1936)".
2. Armijn Pane
Armijn Pane adalah salah satu Sastrawan Senior di Indonesia dengan salah satu karya sastra yang paling terkenal ialah novel Belenggu.
Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru.
Misinya adalah mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.
Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan.
Saat itu ia memulai karirnya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932), mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan lepas.
Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur.
Menjelang kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka.
Pada zaman Jepang, Armijn Pane bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern.
Sesudah kemerdekaan, ia aktif dalam bidang organisasi kebudayaan.
Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) (1950-1955).
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya dalam bidang sastra.
Pada awal Fevruari 1970, Tepatnya pada tanggal 16 Februari 1970, beliau meninggal.
3. Amir Hamzah
Amir Hamzah (1911-1946) adalah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur.
Ia pergi ke Jawa untuk sekolah hingga menjadi mahasiswa Fakultas Hukum yang dibiayai oleh pamannya, seorang Sultan Langkat.
Di Jawa, Amir Hamzah aktif dalam kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan.
Hingga akhirnya ia bersama Sutan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe.
Tapi Amir harus meninggalkan semuanya karena mendapat pagngilan dari pamannya sehingga ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah seorang putri Sultan Langkat.
Dalam sajak-sajaknya, baik yang dimuat dalam Buah Rindu maupun yang dimuat dalam Nyanyian Sunyi, Amir banyak menggunakan kata-kata klasik, yang diambil dari khazanah bahasa Melayu dan Kawi.
Ia pun menggunakan kata-kata dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa dan Sunda.
Sajak Amir lebih banyak bernada kerinduan, penuh dengan ratap kesedihan yang menimbulkan kesunyian dan kepasrahan.
Tapi setelah melampui masa kesepian dan kebimbangan.
Akhirnya ia menemukan kedamaian dalam Tuhan yang disebutnya, kemudian dimuat sebagai sajak terakhir dalam Nyanyi Sunyi.
4. J.E Tatengkeng
J.E Tatengkeng (1907-1968) adalah seorang sastrawan kelahiran Sangihe. Ia merupakan umat Kristen yang taat.
Bahkan ketika anaknya meninggal saat bayi, ia menganggapnya sebagai kehendak Tuhan, kemudian menulis sajak berjudul ‘Anakku’.
Sajak itu bersama dengan sajak lainnya diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934).
Isinya kebanyakan sajak-sajak kerindudendaman terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Rindu Dendam adalah satu-satunya buku J.E Tatengkeng yang pernah terbit.
Namun, sebetulnya banyak karyanya yang dimuat dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.
Dalam berkarya, bahasanya bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya pun begitu, bila dibandingkan dengan kawan-kawan seangkatannya yang kebanyakan berasal Sumatera.
Puisi J.E Tatengkeng terbilang yang paling bebas dari pengaruh pantun dan syair Melayu lama.
5. Asmara Hadi dan Penyair Pujangga Baru Lainnya
Diantara para penyair yang sajak-sajaknya sering dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, masih ada penulis lain yang tidak dibukukan.
Seperti Asmara Hadi, Mozasa (nama samaran Muhammad Zain Saidi), M.R. Dajoh dan lain-lain.
Sajak-sajak Asmara Hadi yang nama aslinya Abdul Hadi (lahir di Bengkulu 1914) kebanyakan romantik dan kesedihan karena ditinggal mati oleh kekasih.
Luka jiwa karena kehilangan cintanya itu justru digunakan oleh Asmara Hadi sebagai sumber semangat berjuang yang tak kunjung padam.