Pengertian Teori Konstruktivistik
Karli (2003:2) menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Poedjiadi (2005:70) juga menyampaikan bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan, yaitu mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
{inAds}
Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar.
Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri (Kukla, 2003: 39).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Matthews, dalam Paul Suparno,1997 : 18-17).
Piaget (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori Belajar Piaget) bahwa semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang.
Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.
Proses pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Konstruktivistik merupakan perkembangan teori belajar Kognitif. Kostruktivisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan adalah suatu proses pembentukan yang terus menerus berkembang dan berubah. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang tertentu atau tetap, melainkan suatu proses untuk menjadi tahu.
{inAds}
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran.
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut, dengan:
- Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
- Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
- Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu pandangan yang mendasarkan bahwa perolehan pengetahuan atau konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.
Konstruktivistik dapat dilakukan dengan memberikan masalah pada siswa.
Pemberian masalah dimaksudkan untuk merangsang siswa agar berpendapat dan berpikir kritis ketika mereka dihadapkan pada fakta-fakta baru.
Siswa diperlakukan sebagai pemikir-pemikir, atau dilatih untuk menjadi pemikir, bukan hanya sebagai penerima pasif pengetahuan.
{inAds}
Pembelajaran konstruktivistik lebih menekankan kepada peningkatan keterampilan proses belajar, tidak semata-mata pada hasil belajar.
Untuk mencapai tujuan belajar, strategi yang dijalankan guru adalah menciptakan belajar kolaboratif, yang memungkinkan pembahasan suatu masalah dari berbagai sudut pandang.
Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivistik
Yuleilawati (2004:54) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu sebagai berikut:- Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
- Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
- Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
- Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.
- Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
- Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
- Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
- Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
- Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
- Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
- Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
- Adanya kerjasama;
- Saling menunjang;
- Menyenangkan, tidak membosankan;
- Belajar dengan bergairah;
- Pembelajaran terintegrasi;
- Menggunakan bebagai sumber;
- Siswa aktif, sharing dengan teman;
- Siswa kritis, guru kreatif;
- Laporan kepada orang tua berwujud, rapor, hasil karya siswa, laporan praktikum, dan karangan siswa, dsb.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.