Kata “Bhinneka Tunggal Ika” memang ditemukan dalam Kakawin Sutasoma, karya sastra Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Tantular.
Kakawin ini diperkirakan ditulis pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14.
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar dan terkuat dalam sejarah Indonesia.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.
Pada masa kejayaan ini, Majapahit berhasil mempersatukan hampir seluruh wilayah Nusantara di bawah satu panji.
Kakawin Sutasoma sendiri merupakan salah satu karya sastra yang paling terkenal dari masa Majapahit.
Kakawin ini menceritakan kisah perjalanan spiritual seorang pangeran bernama Sutasoma untuk mencapai pencerahan.
Dalam perjalanannya, Sutasoma bertemu dengan berbagai tokoh dan mempelajari berbagai ajaran agama dan filsafat.
Frasa “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat dalam pupuh 139 bait 5 dari Kakawin Sutasoma.
Bait tersebut menjelaskan tentang perbedaan aliran kepercayaan yang ada pada masa itu, yaitu Buddha dan Siwa.
Meskipun berbeda, kedua aliran tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai pencerahan.
Mpu Tantular menggunakan frasa ini untuk menggambarkan kesatuan dalam keragaman.
Beliau ingin menyampaikan bahwa meskipun terdapat perbedaan suku, agama, budaya, dan adat istiadat di Nusantara, namun pada hakikatnya bangsa Indonesia tetaplah satu kesatuan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam frasa “Bhinneka Tunggal Ika” ini masih sangat relevan hingga saat ini.
Semboyan ini menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.