Pada masa demokrasi parlementer pembangunan nasional tidak dapat dilaksanakan sebab?

Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia (1945-1950) memang diwarnai dengan berbagai gejolak politik yang menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

Berikut beberapa faktor yang mendasarinya:

1. Ketidakstabilan Politik

Pergantian kabinet yang cepat, dengan rata-rata masa jabatan hanya beberapa bulan, membawa dampak negatif bagi pembangunan nasional.

Program-program pembangunan menjadi terhambat dan tidak berkelanjutan karena kurangnya waktu untuk implementasi dan evaluasi.

Selain itu, fokus kabinet lebih condong ke arah mempertahankan kekuasaan dan menyelesaikan krisis politik, sehingga agenda pembangunan nasional terabaikan.

Dominasi perdebatan dan konflik antar partai politik pun semakin marak, memicu inefisiensi dan menghambat jalannya program-program yang penting bagi rakyat.

Kondisi ini dapat memicu ketidakstabilan politik dan ekonomi, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

2. Kekurangan Sumber Daya

Membangun bangsa bagaikan membangun rumah di atas puing-puing.

Indonesia pasca kemerdekaan dihadapkan pada kenyataan pahit: infrastruktur hancur, keuangan negara merosot, dan sumber daya manusia yang terampil minim.

Kondisi ini membuat pemerintah bagaikan nahkoda yang harus berlayar dengan kapal yang penuh kebocoran.

Dana dan fokus terpecah antara menambal infrastruktur yang rusak dan memulihkan ekonomi yang porak poranda akibat perang.

3. Keadaan Darurat

Di tengah gejolak politik dan ancaman keamanan, pembangunan nasional bagaikan perahu kecil di lautan badai.

Ancaman dari gerakan separatis dan pemberontakan komunis memaksa pemerintah memfokuskan perhatian dan sumber daya pada upaya menjaga stabilitas negara.

Keadaan darurat ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus dari program pembangunan.

Keadaan politik yang tidak kondusif dan rasa aman yang terancam juga membuat investor enggan menanamkan modalnya, menghambat kemajuan pembangunan ekonomi.

Faktor-faktor ini bagaikan batu rintangan yang menghadang laju kemajuan bangsa di masa Demokrasi Parlementer.

4. Kurangnya Koordinasi

Pada masa Demokrasi Parlementer, inefisiensi birokrasi menjadi batu sandungan besar dalam pembangunan nasional.

Kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah menyebabkan tumpang tindih program dan pemborosan anggaran.

Ketidakjelasan visi dan misi pembangunan nasional juga membuat program berjalan tanpa arah dan target yang terukur.

Ditambah lagi dengan birokrasi yang rumit dan berbelit-belit, proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan program menjadi tersendat dan tidak efektif.

Faktor-faktor ini bagaikan benang kusut yang menghambat laju kemajuan pembangunan nasional di masa itu.

5. Dominasi Politik

Di masa Demokrasi Parlementer, sayangnya, kepentingan rakyat sering terabaikan.

Program pembangunan lebih diarahkan untuk kepentingan elit politik dan golongan tertentu, bukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Hal ini menimbulkan kekecewaan dan apatisme masyarakat terhadap pemerintah.

Ketidakpercayaan ini berakibat pada minimnya partisipasi dan dukungan rakyat dalam upaya pembangunan nasional, menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan bangsa di masa tersebut.

Meskipun diwarnai dengan berbagai kendala, masa Demokrasi Parlementer juga melahirkan beberapa langkah penting dalam meletakkan fondasi pembangunan nasional, seperti:

  • Pembentukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja (1945) untuk menangani infrastruktur dan ketenagakerjaan.
  • Penyusunan Rencana Kasimo (1947) sebagai rancangan awal pembangunan nasional.
  • Penyelenggaraan Konferensi Ekonomi Nasional (1948) untuk membahas strategi pemulihan ekonomi.

Namun, secara keseluruhan, masa Demokrasi Parlementer memang tidak menjadi periode yang kondusif untuk pelaksanaan pembangunan nasional berskala besar.

Ketidakstabilan politik, keterbatasan sumber daya, dan berbagai hambatan lainnya menjadi faktor pendorong transisi ke sistem demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Previous Post Next Post