Memoar Veteran IGB. Sudharma Tertata Rapi dalam Rajutan Diksi

Pengantar

Ketika Senja Tak Menutup Fatamorgana
Maulana Affandi

Seutas kata terlahir dari kisah nyata, semua yang telah dipersembahkan untuk negeri tercinta bukan cuma omong belaka.

Kendati senja menanti, gejolak fatamorgana jiwa terus berevolusi yang akhirnya berubah jadi inspirasi.

Itulah I.G.B. Sudharma. Bolehkah kusebut ia pahlawan? Jasa dan pengabdiannya melekat dalam cerita semesta.

Realitanya, usia ibarat bom yang akan meledak pada waktunya. Namun, bagi Sudharma, usia tak ubahnya hanya sebuah angka.

Dalam perjalanan waktu menuju angka baru, selalu ada hal baru yang Sudharma lakukan untuk menyelami betapa pentingnya memaknai kehidupan.

Semua kenangan indahnya tertata rapi dalam rajutan diksi. Memoar yang bisa memberi inspirasi untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi.

Perjalanan asmara yang dicipta pun turut membakar naluri setiap insan yang memiliki hati nurani.

Teringat ucapan Benjamin Franklin, seorang negarawan Amerika (1706 – 1790):

“Orang-orang yang bisa mencintai secara mendalam, tidak akan pernah tua. Mungkin mereka meninggal dalam usia tua, tapi jiwa mereka tetap muda.”

Bisa dibilang, kecintaan Sudharma kepada negara dan keluarga membuat jiwanya selalu muda.

Tersadar, kisah yang dibagikan oleh Sudharma mampu menusuk relung, membangkitkan semangat dan kekuatan cinta yang nyaris pudar.

Pada akhirnya, Sudharma melalui karyanya mengingatkan bahwa bukan apa hasil yang telah kita torehkan, tapi bagaimana kita mendapatkan hasil tersebut.

Dari sini kisah itu dimulai…

Maulana Affandi, 27/7/2024.

Biodata IGB. Sudharma

  • Nama Lengkap: I.G.B. Sudharma
  • Awal Karier: Tahun 69/70, Pusdik BRIMOB WATUKOSEK JATIM
  • Istri: Siti Nuroniyah (Alm)
  • Masuk Timtim: Tahun 1975
  • Hobi: Jiutinsido
  • Saat ini: Dewan Pertimbangan Veteran Banyuwangi

Merajut Asa Menggapai Cita

Setelah setahun aku menikah dan bertugas di Kesatuan Brimob Kompi 34/BS Timor Kupang, aku mengajukan pindah ke Denpasar Bali bersama Rofik Jaelani.

Kendati demikian, aku tetap melatih anggota keprajuritan dalam taktik dan teknik pertempuran (Pertahanan dan Penyerangan) Perang Kota sesuai dengan perintah Dan Kompi, sambil menunggu SK Pindah keluar.

Hal ini dilakukan setiap hari Rabu dan Kamis untuk menjaga dan mengasah naluri tempur mereka agar tetap terampil serta bertanggung jawab sebagai prajurit petarung. Dalam hal ini aku dibantu oleh Kopda Rianto.

Sore harinya, aku menghilangkan penat dengan meluangkan waktuku dengan mengajak Istriku dan adik angkatku ke pantai Gembira Loka yang berada di depan asrama.

Kami menggelar karpet di bawah pohon ketapang yang cukup rindang sambil memandang ke laut lepas. Kadek Urip membuat perapian dari ranting kayu kering untuk mengusir nyamuk dan penghangat badan.

Senja mulai naik, sang surya mulai masuk ke peraduannya meninggalkan cahaya merah kemilau, membias pada air laut, bagai mutu manikam yang terhampar di permadani biru.

Gemercik air laut yang terempas di pantai, diiringi nyanyian serangga malam bagaikan nyanyian surgawi yang dilantunkan oleh para dewa dewi.

Anganku melayang jauh menembus batas imajinasi, betapa indah lukisan alam, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Aku mendesah dalam hati.

“Ternyata pantai Gembira Loka mempunyai keindahan tersendiri yang tak banyak orang tahu dan pantai ini akan aku tinggalkan bila SK keluar.”

Saat aku tenggelam dalam lamunan, aku dikejutkan dengan pertanyaan istriku tercinta “Mas, sampean apa tidak capek dan jenuh dengan rutinitas seperti itu?” tanyanya.

“Ya pasti capek lah, Sayang,” jawabku, sambil mencium pipinya yang merah merona.

“Semua itu sudah tanggung jawabku untuk mendidik mereka menjadi prajurit yang aandal di setiap medan, maupun bergerak cepat dan senyap, bernyali besar dan tak gampang menyerah di situasi sesulit apapun. Karena menyerah merupakan keputusan terburuk bagi seorang prajurit. Untuk itulah aku melatih, memotivasi dan mendoktrin mereka untuk menjadi prajurit petarung yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi,” jawabku.

“Waduh! Berat juga jadi prajurit ya, Mas,” sahut istriku menanggapi.

“Kenapa? Sampean menyesal menjadi istri seorang Prajurit Brimob?” kataku meledeknya.

Dia pun menjawab dengan bersungut, “Siapa yang menyesal, Mas?

Hanya orang bodoh yang menyesal menikahi suami yang gagah, tampan, bertanggung jawab dan sangat menyayangi Istrinya,” ucapnya sambil mencubit pinggangku.

Setelah suasana mulai tenang, istriku berkata “Mas, aku ada ide.”

“Ide apa?” tanyaku padanya

“Gini, Mas, gimana kalau hari Minggu kita buat rekreasi untuk anggota remaja dan bujangan di pantai ini?”

“Caranya gimana?” tanyaku

“Gampang, Mas,” jawab istriku.

Lalu dia melanjutkan, “Kita buat yang murah meriah saja. Besok aku beli tahu dan tempe di Pak Topo, Mas beli tulangan sapi dan dua ikat daging se’e, tomat, lombok dan terasi. Akan aku buat sambal goreng tahu tempe dan sayur sop, serta sambal tomat dan jangan lupa beberapa ikat serai dan jahe untuk membuat minuman sehat.”

“Wah.. Cerdas juga istriku ini,” ucapku memujinya, namun aku bertanya setelahnya, “Lah, terus nasinya gimana?”

“Suruh bawa sendiri saja, Mas, jadi kita tidak terlalu capek untuk menyiapkannya,” jawabnya dengan mata berbinar.

Keesokan harinya, aku membicarakan ide istriku pada Rianto dan Nahrawi. Mereka sangat mendukung dan berjanji akan membantu sepenuhnya.

Hal ini juga mereka umumkan pada anak remaja, khususnya yang lepas jaga atau on call.

Minggu pagi Rianto dan Nahrawi beserta istri masing-masing datang ke rumah untuk mengambil sambal goreng yang telah matang serta membawa dandang besar untuk membuat minuman sehat.

Sedangkan Kadek Urip telah lebih dulu membawa karpet dan air bersih ke lokasi tempat rekreasi.

Jam 08.15 WITA semua masakan telah siap termasuk minuman sehat racikan Istriku yang terdiri dari sereh, jahe dan daun salam serta gula merah.

Anggota Brimob lainnya pun beramai-ramai datang ke lokasi dengan membawa serantang nasi dan mug komando tempat air minum.

Setelah itu mereka membuka dan menyusun rantang dan barang masing-masing.

Mereka pun mulai bermain sesuai hobi, ada yang bermain voli dengan bola plastik, ada juga yang mandi di pantai.

Semua ini berlangsung hingga jam 11.00 siang, lalu ibu Nahrawi dan ibu Rianto sibuk membagi lauk dan sayur kepada anggota masing-masing.

Jam 11.30 semuanya berakhir dengan penuh suka cita, mereka semua berharap agar hal ini bisa terulang setiap minggu atau dua minggu sekali.

Pada hari Senin setelah apel pagi, aku diperintahkan piket untuk menghadap Dan Kii ke rumahnya bersama istri pada jam 18.00 WITA, aku mengatakan “Siap”.

Pada pada jam 18.00 WITA aku dan Istriku menuju rumah Dan Kii untuk memenuhi perintahnya.

Setiba di rumahnya, kami telah ditunggu dan disambut oleh Dan Kii dan Istrinya. Kami pun dipersilakan duduk di ruang tamu dan disuguhi teh panas dan ubi rebus.

Dan Kii pun menanyakan perihal rekreasi pada hari Minggu kemarin.

Aku pun mengatakan bahwa “Itu adalah ide Istri saya, selebihnya biarlah istri saya yang menjelaskan”.

Lalu, istriku pun menjelaskan dengan rinci, bahwa dengan biaya yang minim cukup untuk menghilangkan penat setelah seharian berlatih. Kegiatan ini dibantu oleh Bapak Rianto dan Bapak Nahrawi dengan Ibu.

Dan Kii sangat mengapresiasi kegiatan ini, setelah cukup lama berbincang kami pun pamit pulang.

Setiba kami di barak, Tamtama Remaja pun sedang menunggu kedatangan kami untuk menanyakan perihal panggilan Dan Kii yang kami jawab bahwa Dan Kii merespon baik kegiatan kita, disambut dengan suka cita oleh mereka.

Setelah mereka puas dengan keterangan kami, mereka pun kembali ke Barak Bujang.

Keesokan harinya setelah apel pagi sebelum latihan DAKHURA aku menceritakan respons positif Dan Kii dan kami pun merancang kegiatan Minggu depan dengan sayur asem dan ikan kucing (lemuru),

Namun, rencana tersebut tidak terwujud karena bersamaan dengan SK kami yang keluar.

Rofiq dan Jailani berangkat terlebih dahulu dengan kapal Belaberto. Sedangkan aku sendiri masih menunggu kelulusan adik angkatku dari SMA Pensia Kupang.

Kesempatan tersebut aku gunakan untuk membeli kayu cendana untuk aku jual di Bali, sedang minyak cendana asli aku diberi oleh Tamtama yang suku Batak asli.

Setelah lima hari aku menunggu Surat Tanda Kelulusan atau Ijazah, Kadek Urip keluar dan kami pun melaksanakan persiapan untuk berangkat ke Bali.

Sehari sebelum berangkat ke Bali, diadakan acara perpisahan di aula Kesatuan Brimob 34/BS.

Pada kesempatan itu, Komandan Kompi mengucapkan terima kasih atas kerja kerasku dalam memajukan Kompi 34/BS Kupang.

Saya sendiri mengucapkan terima kasih kepada Dan-ku dan seluruh anggota Kompi 34/BS terutama Densus Alap-Alap yang telah bahu-membahu melaksanakan tugas di Timor-timur tahun 1975.

Keesokan harinya, Kami berangkat ke pelabuhan Tenau dengan diantarkan oleh rekan satu angkatan dan Tamtama Remaja.

Setiba di Tenau barang-barangku diangkat oleh Tamtama Remaja termasuk kayu cendana 2 potong yang kumasukkan ke dalam blesak panjang masing-masing 50kg.

Setelah itu kami masuk ke atas kapal diiringi isak tangis dari rekan-rekan yang kusayang, membuat suasana menjadi haru biru.

Jam 11.00 siang Kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Tenau Kupang. Aku Tak kuasa meneteskan air mata mengingat kota ini telah membesarkan aku dalam setiap tugas suka dan duka.

Melihat aku menangis, istriku mengusap air mataku dengan sapu tangannya, sambil berkata “Sampean sedih ya, Mas?”

“Iya sayang,” jawabku, lalu melanjutkan, “Betapa tidak, 10 tahun aku bertugas di sini dengan segala keterbatasan, namun aku bisa melewatinya dengan baik.”

Istriku mengusap-usap pundakku berusaha menenangkan perasaanku.

Sehari semalam kapal berlayar, hingga singgah di Flores, kami pun turun untuk membeli pisang Belangga yang sudah terkenal di Ende.

Keesokan harinya kapal pun berangkat Kembali menuju Surabaya.

Lima hari kami terapung di tengah laut, namun semua berjalan lancar-lancar saja kendati istriku sempat pusing karena masuk angin.

Aku sempat berkata “Nah, apa kataku kemarin? Aku suruh sampean naik pesawat Merpati biar dijemput di Denpasar oleh Mas Putu atau Mas Tejo, tapi Sampean tidak mau.”

Istriku menjawab dengan tegas “Mas aku sudah katakan ke sampean, Mas pergi kemanapun aku akan selalu ada di sampingmu. Aku sangat percaya padamu, Mas akan dapat melindungiku dengan baik.”

Jawaban istriku membuatku tersenyum, begitulah dia. Tidak mau sedetikpun jauh denganku. Bagaimana bisa dia begitu tangguh untuk ikut denganku bertugas di Timor Timur.

Kapal akhirnya merapat di pelabuhan Gudang Garam, aku bergegas turun bersama istriku dan Kadek sambil membawa koper, sedang kayu cendana memakai jasa buruh angkut.

Setelah mencarter kendaraan pick up untuk mengangkat kayu cendana kami menuju kantor ekspedisi untuk mengekspedisi kayu cendana.

Malam harinya kami naik bis malam Cakrawala menuju Denpasar, Bali. Tiba di Denpasar kami menginap di losmen Blantara belakang Terminal Suci.

Keesokan harinya slepas sarapan kami menuju kantor ekspedisi di Jalan Gajah Mada. Ternyata di sana banyak orang-orang calon pembeli kayu cendana.

Setelah tawar-menawar,  kayu cendanaku terjual Rp125.000 perkilo. Kami pun kembali ke losmen untuk beristirahat.

Keesokan harinya Kadek Urip pulang ke Bukit Jangkruk untuk menemui orang tuanya dan aku sendiri menghadap Dan Sat Brimob di Kremeng, dan ditempatkan di Bintara Operasi Satbrimob Denpasar dan mendapat cuti selama tiga hari.

Kesempatan ini aku gunakan untuk pulang ke Banyuwangi mengunjungi mertua dan kakak serta adik-adikku. Aku juga tidak lupa sowan ke makam kedua orang tuaku.

Dua hari aku di Banyuwangi akhirnya kembali ke kesatuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari.

Setelah hampir tiga bulan aku bertugas, aku coba peruntungan untuk melamar pekerjaan di Diskotik.

Dengan kemampuan bela diri dan sedikit bahasa Inggris yang kumiliki, beberapa kali aku diuji coba.

Namun, semua dapat kuatasi dan akhirnya aku diterima dengan gaji Rp250.000 per bulan, di Diskotik Number One wilayah Sanur.

Hari pertama aku bekerja lancar-lancar saja, namun setelah seminggu tragedi pun terjadi ketika gerombolan berjumlah kurang lebih 7 orang dan memaksa masuk secara gratis.

Aku menghadang mereka dan menyuruh mereka untuk membeli karcis masuk sesuai jumlah mereka namun mereka tidak menurut dan malah memegang kerah bajuku.

Aku tetap tenang sembari tetap menyuruh mereka mengikuti aturan yang ada, namun aku melihat ada tangan yang ingin memukulku.

Secara refleks tangan kananku melayang ke jidatnya sehingga ia terjatuh pingsan, rekan-rekannya yang lain berhamburan kabur.

Setelah polisi Polsek Sanur datang, yang bersangkutan kuserahkan pada mereka. Setelah mengambil keterangan dariku, mereka mengijinkanku pulang.

Beberapa hari kemudian pemilik Diskotik kawasan Sanur, Bali Queen, Trappozone, Hotel Palm Beach, Kuta Beach datang melamarku untuk bekerja di perusahaan masing-masing namun pada saat itu aku sudah bekerja di Number One.

Aku dipanggil ke kantor Pak Singgih. Di sana langsung menaikkan gaji menjadi Rp500.000 dan merangkap jabatan sebagai penasehat umum.

Aku juga bekerja di Trappozone dan Hotel Palm Beach dengan syarat tidak terikat waktu untuk masuk kerja.

Dari situlah kehidupanku mulai meningkat, bisa membeli sepeda motor untukku dan membeli Mobil Daihatsu 1000 untuk bekerja malam.

Setelah delapan bulan aku bekerja di hotel dan diskotik, aku diminta kerja di Lamtoro Gung Milik Mbak Tutut di bawah pimpinan Pak Joyo dan Pak Riki yang masing-masing berkantor di Renon, Jalan Durian, Denpasar.

Aku mulai hidup berkecukupan sehingga lupa daratan dan mulai main judi sabung ayam (Ayam Tajen) atau adu bangkok.

Di lingkungan adu Bangkok, aku di daulat menjadi pelindung suku Jawa-Madura di Denpasar dan Tabanan.

Saat itu aku tak pernah ingat dan mensyukuri nikmat Allah Sekalipun. Aku hanya hidup berfoya-foya dengan kelompok penjudi saja.

Saat aku mengikuti ujian masuk Secapa aku malah lulus nomor 2 dari peserta seluruh Bali.

Namun ketika 10 hari sebelum keberangkatan, aku diajak Letda Suware Intel dan Serse Polda Bali untuk menangkap seorang dukun palsu di daerah Karangasem.

Istriku sudah melarang aku untuk ikut, tapi rasa setia kawan mengalahkan itu semua.

Aku ikut bersama mereka saat penangkapan berlangsung. Di TKP, pihak bersangkutan mengadakan perlawanan sehingga secara refleks kepalan tangan kananku melayang ke mukanya dia pun terpental ke tembok.

Bali pun Geger saat itu, aku diproses tingkat Polda Bali. Namun mengingat jasa-jasaku sangat besar pada Polri, aku diperintah keluar Bali, batal ikut sekolah Secapa, sehingga terdampar di Banyuwangi dan dibantu pengurusan pensiunan dini ku oleh Ibu Hajah Kertono.

Demikianlah kisah hidupku ini kubuat agar menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia, kemudian jangan lupa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saat kita kelimpahan Rizki dan bersedekah kepada Dhuafa.

IGB. Sudharma, Banyuwangi, 10 Mei 2024.

Puisi IGB. Sudharma

DALAM LINDUNGAN ILAHI

Bersama Allah di Masjid Suci
Senja membias langit kemerahan
Saat jama’ah sholat dan mengaji
Tenang damai di dalam iman

Bersama Allah menembus lubuk malam
Melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an
Khusyuk larut di dalam kalam
Hilang sirna semua kegalauan

Bersama Allah melawan cahaya kegelapan
Melangkah pasti dalam lindungan
Tiada sedikitpun hati dalam keraguan
Di jalan Allah Yang Maha Suci dan penuh kenikmatan

Banyuwangi, 10 Mei 2024
IGB. Sudharma

MELATI KENANGAN

Saat beta remaja belia
Hati selalu berbunga-bunga
Indah ceria penuh aroma cinta
Semerbak merasuk dada sukma

Oh Tuhan pencipta alam semesta
Biar masa remaja beta bergejolak di dada
Membahana menembus angkasa
Menggapai cinta merenggut asmara

Kini masa remaja beta telah sirna
Ditelan waktu, dimakan usia
Tinggal kenangan yang tersisa
Tersimpan erat di relung dada

Banyuwangi, 10 Mei 2024
IGB. Sudharma

HARAPAN

Lama ku idamkan
Kedamaian dan kesejukan
Dalam Berbangsa dan Bernegara
Di Persada Nusantara Indonesia

Namun apa yang terjadi?
Semua hanya impian
Sesama Islam pecah pertikaian
Rakyat jadi bingung dan tertekan
Agama dijadikan mainan dan tendensi

Cukup di sini semua jalan
Berhenti jangan diteruskan
Agar rakyat pulih
Bangsa dan Negara kembali aman

Banyuwangi, 10 Mei 2024
IGB. Sudharma

NYANYIAN MALAM

Di malam sunyi
Semilir angin dingin
Menerpa daun liuk menari
Gemulai berayun-ayun

Nyanyian serangga malam
Menghentak merdu memecah sepi
Malam semakin kelam
Tenggelam dalam hening sunyi

Aku termenung sendiri
Menerawang jauh kegelapan malam
Terperangkap nyanyian sunyi
Merasuk kalbu yang paling dalam

Banyuwangi, 10 Mei 2024
IGB. Sudharma

HUKUM ALAM

Ada dari tiada
Tiada pun karena ada
Hukum alam semesta
Dikendalikan oleh Sang Pencipta

Karenanya wahai manusia
Harta, tahta dan wanita
semua bersifat fana
Amal Ibadah bersifat baka
Yang mana anda suka?

Syurga Neraka nyata adanya
Tersirat dalam ajaran agama
Karena baginya yang percaya
Syukur pada yang Esa

Banyuwangi, 10 Mei 2024
IGB. Sudharma

Previous Post Next Post