Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memainkan peran penting dalam merumuskan dasar negara Indonesia.
BPUPKI, yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 1 Maret 1945, mengadakan dua kali sidang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Berikut adalah bagaimana jalannya sidang BPUPKI dalam menentukan rumusan dasar negara:
1. Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945)
Sidang pertama BPUPKI berlangsung dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Tujuan utama dari sidang ini adalah untuk membahas rumusan dasar negara yang akan menjadi landasan bagi Indonesia merdeka.
Dalam sidang ini, beberapa tokoh nasional menyampaikan gagasan mereka mengenai dasar negara:
Muhammad Yamin (29 Mei 1945): Yamin mengusulkan lima asas dasar negara, yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta” yang berisi:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Mr. Soepomo (31 Mei 1945): Soepomo mengajukan konsep negara integralistik, di mana negara harus menyatukan semua kepentingan individu dan kelompok dalam satu kesatuan. Ia menekankan pentingnya kesatuan, kebersamaan, dan kerakyatan.
Ir. Soekarno (1 Juni 1945): Soekarno mengusulkan rumusan lima prinsip dasar negara yang ia sebut sebagai Pancasila:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau Perikemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan yang Berkebudayaan
Soekarno juga menyarankan agar Pancasila tersebut bisa dipadatkan menjadi Trisila (Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan), dan bahkan disederhanakan lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.
2. Pembentukan Panitia Sembilan
Setelah mendengarkan berbagai usulan, BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil yang dikenal sebagai Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, untuk merumuskan kembali usulan-usulan tersebut.
Anggota Panitia Sembilan terdiri dari tokoh-tokoh utama seperti Soekarno, Muhammad Hatta, dan Agus Salim.
Hasil kerja Panitia Sembilan adalah sebuah dokumen penting yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang berisi rumusan dasar negara yang mencakup:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sidang Kedua BPUPKI (10 – 17 Juli 1945)
Sidang kedua BPUPKI berlangsung dari 10 hingga 17 Juli 1945.
Dalam sidang ini, pembahasan lebih difokuskan pada rancangan undang-undang dasar, termasuk dasar negara yang telah dirumuskan oleh Panitia Sembilan.
Pada sidang ini, rumusan dasar negara yang dihasilkan dalam Piagam Jakarta menjadi salah satu bagian dalam pembukaan rancangan undang-undang dasar.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hal ini menjadi perdebatan serius, terutama dari kalangan non-Muslim yang khawatir bahwa rumusan tersebut dapat menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara non-Muslim.
4. Perubahan Rumusan dan Pengesahan Pancasila
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang yang menghasilkan perubahan rumusan pada bagian pertama dari Piagam Jakarta.
Kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk menjaga persatuan nasional.
Dengan perubahan tersebut, Pancasila akhirnya disahkan sebagai dasar negara Indonesia, dan termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kesimpulan
Proses perumusan dasar negara oleh BPUPKI adalah perjalanan yang melibatkan berbagai pandangan dan perdebatan, yang akhirnya melahirkan Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila mencerminkan upaya untuk menyatukan berbagai kelompok dan kepentingan dalam satu landasan bersama yang menjadi panduan bagi Indonesia merdeka