Belajar Memaknai Cinta dan Kehidupan dengan Veteran IGB. Sudharma

Sekira pukul 16.17 WIB tanggal 15 Agustus 2024, aku dan Bung Aguk Darsono (budayawan Banyuwangi) sowan ke rumah IGB. Sudharma, seorang veteran yang pengabdian dan jasanya besar bagi tanah air.

Setibanya, kami menunggu beberapa waktu di teras, barulah beliau keluar menyambut dengan hangat dengan busana Muslim lengkap.

Kesan pertama tidak ada yang spesial, aku menganggap beliau layaknya orang sepuh pada umumnya.

Sebab, dari sekian banyak yang kutemui, nampaknya busana Muslim mungkin jadi kostum favorit bagi setiap lansia.

Ketika dipersilakan masuk ke ruang tamu, aku mulai melihat beberapa pigura yang tertata rapi di dinding.

Gus Dharma muda tampak gagah, tangguh, dengan kepalan tangan yang gempal. Terkesan sosok pemberani.

Benar adanya, beliau adalah seorang atlet bela diri. Bahkan, pernah menjadi pelatih jiutinsido ketika masih aktif berseragam.

Namun, meski tampak gagah, beliau tetaplah manusia yang memiliki nurani, begitu gumamku.

Layaknya mendapat intuisi, Bung Aguk langsung membuka obrolan yang menjawab gumamku tadi.

“Jadi, beliau ini suka literasi, banyak menulis cerpen dan puisi,” katanya, sembari memegang tangan Gus Dharma.

Aku mulai terkesima. Gus Dharma mengaku sudah menulis banyak puisi sejak usia remaja.

Tambah takjub saat beliau mengatakan semua puisinya yang ditulis tangan itu masih tersimpan rapi.

Di tengah obrolan hangat itu, tiba-tiba pandanganku kembali tertuju ke dinding tempat pigura terpampang.

Semuanya foto hitam putih, tapi cuma satu itu yang berupa lukisan, letaknya pun di atas fotonya sendiri.

Aku pun mulai penasaran. Seketika aku bertanya, “Itu siapa, Pak?”

Beliau diam sejenak beberapa detik, lalu menjawab “Almarhum istri saya”.

Setelah beliau menjawab, justru aku yang terdiam.

Beliau kemudian berceritera tentang perjuangannya bersama istri yang membuatku hanyut.

Aku sedang duduk di ruang tamu, Rabu (15/8/2024), tapi seolah terseret ke dimensi Gus Dharma pada era 70-an.

Seakan di nanarku, ada proyektor besar yang mengisahkan bagaimana manisnya kehidupan mereka kala itu.

Aku “tersesat” dalam dimensi waktu, untungnya ada ucapan Gus Dharma yang bisa membuatku kembali pada dimensi ini.

“Saya pengin mati,” katanya.

“Hah?, ucapku refleks terbelalak.

Diulang lagi, “Kalau dikehendaki, sebetulnya saya sudah pengin mati saja,”.

Tentu sebagai orang yang “takut mati” sepertiku, ada pertanyaan besar yang terlintas di benak.

“Maaf, kenapa, Pak?”

Tak terucap sepatah katapun, beliau hanya menjawab dengan senyuman.

Waktu menunjukkan pukul 16.45 WIB, langit tampak memerah, beberapa saat lagi TOA masjid berkumandang.

Tentu ini waktu krusial bagi tamu yang biasanya menjadi kesimpulan dari proses kunjung–berkunjung.

Benar, beliau sempat melihat jam di ponsel genggamnya, kemudian kembali berujar singkat.

“Setiap manusia itu dipenuhi dosa, termasuk saya. Jadi, apa yang kita cari kalau bukan ampunan-Nya,” ucap Gus Dharma.

Buk!
Gus Dharma berhasil meninju jiwa saya tanpa perlu mengepalkan tangannya.

Saya sedikit tergoncang mendengar ucapan tersebut.

TOA Masjid pun terdengar, beliau tampak tak nyaman, seperti gelisah.

Bung Aguk kemudian mengakhiri pertemuan ini, kami pamit pulang.

Di perjalanan, Bung Aguk bercerita jika Gus Dharma adalah orang yang tekun beribadah.

“Kalau mendengar azan, beliau langsung bergegas untuk salat,” katanya.

“Bung, kenal Pak Dharma sejak kapan?” tanyaku.

“Lama dan sangat dekat. Beliau dan Almarhum istri menganggapku sebagai anak. Akupun menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri,” jawabnya.

“Bertamu ke Pak Dharma sebaiknya tidak di waktu magrib–isya,” imbuhnya.

Tanpa perlu menjelaskan, akupun langsung mengerti.

Dan yang semula kuanggap biasa-biasa saja mengenai kostumnya, ternyata salah besar.

Gus Dharma mengenakan busana Muslim bukan hanya soal kenyamanan, tapi sebagai persiapan menanti waktu untuk menghadap Sang Pencipta.

Maulana Affandi, 16/8/2024.

Previous Post Next Post