Mengupas Beragam Tantangan Pancasila dalam Talkshow Forum Pembauran Kebangsaan

Talkshow Forum Pembauran Kebangsaan

Talkshow Forum Pembauran Kebangsaan (Dok. Sastrawacana.id)

Festival Kebangsaan Kabupaten Banyuwangi 2024 resmi dimulai pada Jumat, 15 November 2024, di Gesibu Blambangan, Banyuwangi.

Peresmian ditandai dengan pengguntingan pita oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bakesbangpol Kabupaten Banyuwangi, R. Agus Mulyono, M.Si., yang diikuti dengan jabat tangan bersama tokoh adat, perwakilan etnis, dan pegiat pembauran kebangsaan.

Festival ini mengangkat tema "Kembang Setaman Harmoni Nusantara" sebagai simbol keberagaman yang menjadi ciri khas Kabupaten Banyuwangi.

Dalam sambutannya, R. Agus Mulyono menyampaikan bahwa festival ini adalah bentuk nyata semangat kebersamaan dan harmoni di bumi Blambangan.

"Festival ini menjadi sarana silaturahmi yang sangat dinantikan oleh pelaku adat dan tradisi etnis di Banyuwangi," ujarnya.

Diskusi Kebangsaan yang Membangun Dialog

Rangkaian acara dimulai dengan Talkshow Kebangsaan yang menghadirkan perwakilan lintas etnis dan suku di Banyuwangi.

Diskusi ini dipandu oleh Bung Aguk Wahyu Nuryadi dan menghadirkan Kadek Yudiana, M.Pd., seorang akademisi dari Untag 1945 Banyuwangi sebagai pemantik diskusi.

Kadek yang juga penulis buku Desa Kebangsaan Patoman, menyoroti lima tantangan dalam kehidupan lintas etnis di era globalisasi, seperti menjaga kearifan lokal, menangkal gerakan intoleransi, serta pentingnya pendidikan yang bebas dari perundungan.

"Bagaimana di era global tetap junjung kearifan lokal, di era medsos yang gerus tatap muka, gerakan intoleransi, pendidikan yang penuh perundungan di Merdeka Belajar serta penegakan supremasi hukum yang bersumber ke UUD 1945," tutur pria asal Kintamani Bali ini.

Peserta diskusi yang berjumlah 45 orang dibagi ke dalam lima kelompok lintas etnis untuk mendalami topik-topik tersebut.

Setiap kelompok berdiskusi selama 17 menit sebelum mempresentasikan hasilnya.

Aspirasi mereka mencerminkan semangat kebersamaan. Amiruddin, dengan logat Madura yang khas, menegaskan pentingnya keamanan dan kenyamanan bersama. 

Sementara itu, Hamdan yang mengenakan gamis, mengingatkan akan nilai saling mengenal dan tolong-menolong antar sesama manusia.

Mega Kotto dan Qurrota A’Yunin, mewakili budaya Minang dan Borneo menyarankan sosialisasi bijak lewat media sosial dan ide kreatif seperti drama kolosal lintas suku.

“Prosesnya akan menciptakan harmonisasi yang indah,” ungkap Mega.

Imaniar dengan gaya khas Bataknya, menekankan peran pendidikan dalam membangun saling pengertian dan menghormati, seraya mengingatkan pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak bangsa.

Sanusi Marhaedi dari Suku Osing menggarisbawahi pentingnya generasi muda memahami sejarah dan melestarikan tradisi lokal.

Ia mengusulkan kunjungan antar suku saat gelaran tradisi atau ritual adat untuk mempererat hubungan.

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kabupaten Banyuwangi menyambut baik ide-ide ini, sekaligus menegaskan target pembentukan lima Desa Kebangsaan di Banyuwangi sebagai langkah konkret menjaga harmoni sosial.

Ragam Seni dan Kuliner Nusantara

Festival Kebangsaan

Festival Kebangsaan Banyuwangi (Dok. Sastrawacana.id)

Setelah sesi diskusi, acara dilanjutkan dengan berbagai pertunjukan seni.

Tari Topeng Sumenep dari Desa Bayu, Songgon membuka panggung, diikuti oleh penampilan Tari Dayak Kalimantan oleh santriwati MI Darunnajah 2 yang dipimpin Majidatul Himmah, S.Ag.

Ada pula fragmen drama berjudul Banyuwangi: Indonesia Mini dan undhoroso Osing.

Salah satu momen yang menarik adalah pembacaan puisi dalam tiga bahasa berjudul Indonesia Setong oleh Yeti Chotimah, seorang guru sains dari SMPN 3 Rogojampi yang juga dikenal berprestasi di seni budaya.

Para penampil lainnya, seperti Salwa dari SDN Sobo dengan Puisi Osing serta siswi SMPN 1 Giri dengan Gending Banyuwangi turut memeriahkan acara.

Keberagaman seni yang ditampilkan mendapatkan apresiasi luar biasa dari ratusan peserta yang hadir.

Stand-stand etnis dan UMKM turut menjadi daya tarik tersendiri.

Di antaranya adalah stand Suku Osing yang menyajikan rujak kecut, jajan tradisional dan kopi khas Osing.

Ada juga stand Minang yang menawarkan sate Padang dan busana adat untuk dipakai berfoto.

Stand-stand lainnya mewakili berbagai etnis seperti Jawa, Arab, Tionghoa, Batak, Mandar, dan Kalimantan, memberikan pengunjung pengalaman kuliner dan budaya yang beragam.

Puncak Acara: Harmoni dalam Seni dan Doa

yeti chotimah

yeti chotimah (Dok. Sastrawacana.id)

Festival ini akan mencapai puncaknya pada Sabtu, 16 November 2024 dengan pelantikan Ketua FPK Banyuwangi untuk masa bakti ketiga.

Acara puncak akan diisi oleh sendratari Pelangi Nusantara yang dipersembahkan oleh Sanggar Lang-lang Buana, serta doa bersama dari tokoh adat.

Selain itu, festival ini diharapkan mampu memperkuat semangat Pancasila di tengah dinamika sosial, baik di internal maupun eksternal komunitas suku etnis.

"Kita punya peran penting dalam mengisi kemerdekaan serta keberlanjutan pembangunan yang ditandai Musrenbang serta pesta demokrasi pemilu berbagai tingkatan untuk kejayaan NKRI," tegas Ketua FPK yang juga dosen Universitas Banyuwangi (Uniba). (AW/AWN)

Previous Post Next Post