Ujian Nasional (Kemdikbud) |
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, mengindikasikan Ujian Nasional (UN) akan kembali diterapkan mulai tahun ajaran 2025/2026.
Kabar ini memunculkan beragam reaksi, mengingat kebijakan penghapusan UN pada 2021 oleh Nadiem Makarim sempat dianggap sebagai langkah reformasi pendidikan yang progresif.
Mu'ti menyebutkan bahwa UN penting untuk memetakan kualitas pendidikan dan memberikan data individual siswa bagi keperluan seleksi perguruan tinggi.
Namun, belum ada penjelasan rinci mengenai format baru yang akan diterapkan.
"Di tahun ajaran 2025/2026, tapi nanti bentuknya seperti apa sampai ada pengumuman lebih lanjut," tuturnya.
Namun, pertanyaan besar muncul: apakah kembalinya UN akan benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan, atau malah berisiko mengulang masalah lama?
Ujian Nasional: Solusi atau Beban?
Saat UN masih diberlakukan, kritik terbesar datang dari beban berat yang ditanggung siswa.
Pola belajar menjadi terlalu fokus pada penghafalan, sementara pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif terpinggirkan.
Nadiem Makarim menggantinya dengan Asesmen Nasional yang menilai kemampuan literasi, numerasi, dan karakter siswa secara lebih holistik.
Apabila UN kembali hadir dalam format lama, dikhawatirkan akan terjadi regresi.
Namun, jika formatnya berubah, muncul tantangan lain: bagaimana memastikan bahwa perubahan ini efektif dan tidak sekadar mengganti istilah?
Kebutuhan Data Individual: Alasan yang Layak?
Mu'ti mengungkapkan bahwa data UN diperlukan untuk seleksi mahasiswa baru. Sistem yang ada saat ini menurutnya hanya berbasis sampling, sehingga kurang akurat dalam menilai kemampuan individu.
"Selama ini dengan sistem yang ada sekarang kan sampling, sehingga kemampuan yang ada ya sampling. Maka keperluan dengan penerimaan mahasiswa baru itu nanti kalau misalnya nanti akak kita laksanakan maka itu akan bersifat individual bukan sampling," kata dia.
Pendekatan ini memunculkan dilema: apakah pendidikan harus kembali difokuskan pada hasil tes individu semata, sementara kebutuhan kompetensi abad ke-21 justru menuntut kemampuan yang lebih beragam dan kontekstual?
Suara Guru dan Siswa
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendukung rencana ini, namun belum ada gambaran jelas dari sisi siswa dan orang tua.
Apakah mereka siap menerima kembali tekanan UN di tengah proses pemulihan pascapandemi?
Kembalinya UN menandakan babak baru dalam pendidikan Indonesia. Namun, tanpa perencanaan matang dan evaluasi mendalam, wacana ini berisiko menjadi langkah mundur.
Yang lebih penting, pertanyaan mendasar harus dijawab: apa yang benar-benar dibutuhkan pendidikan Indonesia untuk mencetak generasi yang unggul?