Ketika sebuah karya sastra diadaptasi ke dalam bentuk film, maka sering muncul perdebatan dan perbandingan antara kedua medium tersebut.
“The Architecture of Love“, sebuah karya yang telah memikat banyak pembaca, tidak terkecuali dari fenomena ini.
Baik novel maupun film “The Architecture of Love” memiliki penggemar mereka masing-masing dan keduanya menawarkan pengalaman yang berbeda meskipun berbagi judul yang sama.
Pertama, mari kita bahas tentang karakter-karakter dalam cerita.
Dalam adaptasi film “The Architecture of Love”, kita diperkenalkan dengan karakter baru yang tidak ada dalam novel, yaitu Diaz Umbara.
Kehadiran Diaz memberikan dimensi baru dalam penceritaan dan menambah kompleksitas hubungan antar karakter.
Ini adalah contoh bagaimana adaptasi film dapat memperluas dunia yang telah diciptakan oleh novel dengan menambahkan elemen-elemen baru yang mungkin tidak terpikirkan oleh pembaca novel.
Selanjutnya, ada pengembangan alur yang lebih mendalam dalam film.
Film dan novel adalah dua medium yang berbeda, dan seringkali, detail-detail tertentu yang mungkin berhasil di novel tidak akan berfungsi dengan baik di layar lebar.
Oleh karena itu, adaptasi film “The Architecture of Love” mengambil kebebasan kreatif untuk mengembangkan alur cerita, memberikan nuansa yang lebih segar dan dinamis yang mungkin tidak ditemukan dalam novel.
Misalnya, dalam novel, perpisahan antara Raia dan Alam terjadi karena mereka tidak memiliki anak, sedangkan dalam film, perpisahan tersebut disebabkan oleh perselingkuhan.
Perbedaan lain yang mencolok adalah cara cerita disampaikan.
Dalam novel, pembaca diberikan kesempatan untuk menyelami pikiran dan perasaan karakter secara lebih intim melalui deskripsi yang mendetail dan monolog internal.
Baca juga: Hubungan Antara Arsitektur dan Pesan Moral dalam Film The Architecture of Love
Sementara itu, film harus mengandalkan dialog, ekspresi aktor, dan elemen visual untuk menyampaikan emosi dan pemikiran karakter.
Hal ini menciptakan perbedaan yang signifikan dalam cara audiens mengalami cerita.
Adaptasi film juga seringkali harus memotong atau mengubah beberapa bagian dari novel untuk memastikan alur cerita tetap menarik dan sesuai dengan durasi film.
Bisa berarti bahwa beberapa adegan favorit atau detail penting dalam novel mungkin tidak muncul dalam film, atau diubah sedemikian rupa sehingga memberikan kesan yang berbeda.
Terakhir, pengalaman sensorik yang ditawarkan oleh film dan novel sangat berbeda.
Novel “The Architecture of Love” mungkin mengajak pembaca untuk membayangkan New York dengan cara mereka sendiri, sementara film memberikan interpretasi visual yang konkret tentang kota tersebut.
Musik, sinematografi, dan desain produksi dalam film semua berkontribusi untuk menciptakan suasana yang mungkin tidak bisa ditangkap sepenuhnya melalui kata-kata di halaman buku.
Baca juga: Menelusuri Jejak Lokasi Syuting Film The Architecture of Love di New York
Kesimpulannya, baik novel maupun film “The Architecture of Love” menawarkan perspektif yang unik dan berharga.
Novel memungkinkan pembaca untuk terlibat secara mendalam dengan karakter dan cerita, sementara film menawarkan pengalaman visual dan emosional yang berbeda.
Keduanya adalah bentuk seni yang berdiri sendiri dan patut dihargai atas keunikan mereka masing-masing.
Bagi penggemar karya Ika Natassa, menikmati kedua versi “The Architecture of Love” bisa menjadi cara yang menarik untuk melihat bagaimana cerita yang sama dapat diceritakan dengan cara yang sangat berbeda.